Selasa, 30 Juli 2013

Korea Utara, Negara Yang Penuh Misteri

Kematian Kim Jong Il membuat Korea Utara berduka. Mari kita melongok "bangsa yang serba tertutup" itu dari kacamata orang-orang yang pernah berkunjung ke sana. Salah satunya dikisahkan oleh Brit Simon Cockerell, pekerja pada sebuah biro perjalanan yang sudah lebih dari 100 kali masuk keluar Korut, yang pernah menetap di Beijing, China.
Saat pertama Cockerell mengunjungi Korut, dia mendapat kesan betapa bersihnya negeri itu. Tidak ada polusi udara di Pyongyang. Ini amat berbeda dengan Beijing yang udaranya sangat kotor. Pyongyang juga tidak "dikotori" papan reklame dan lalu lintas tak macet.
Salah satu peristiwa langka di Pyongyang ialah kebiasaan mereka melakukan senam aerobik di pagi hari dengan rekan satu "unit kerja". Pada saat istirahat makan siang, para pekerja juga mengisinya dengan merangkai sebuah jaring atau net, atau membuat garis di jalan untuk membentuk lapangan voli, demi mengisi waktu.
"Kota ini seperti kota mati sepanjang minggu. Hanya ada sedikit bar di Pyongyang, tetapi sudah tutup sejak pukul 22.00. Tidak ada keramaian di kota ini. Ini sebuah kenyataan aneh karena kota ini dihuni oleh sekitar 3 juta orang," kata Cockerell di situs CNN.
Dia telah mengunjungi Korut lebih dari 100 kali. "Tidak ada hiruk-pikuk keramaian. Segala sesuatunya berlangsung begitu singkat, sekitar lima menit. Biasanya, pada hari pertama Anda akan mengatakan kepada diri Anda sendiri, 'Gila, saya saat ini sedang berada di Korut, ke mana saja warganya'?"
Korut adalah masyarakat pekerja. Di sini, hari kerja berlangsung selama enam hari, dan anak-anak lebih sering berada di sekolah. "Pada akhir pekan mungkin saja Anda bisa melihat orang-orang bermain atau berada di taman," kata Cockerell.
"Ini sebuah negara yang sangat miskin. Orang tidak menghabiskan uang karena tidak memilikinya, dan tak banyak orang yang mampu membeli."
Cockerell bekerja di sebuah perusahaan pariwisata, Koryo Group, yang berpusat di Koryo.
Nicholas Bonner, yang juga tinggal di Beijing, mendirikan perusahaan yang menawarkan wisata mulai dari dua hari kunjungan ke Pyongyang hingga 16 malam perjalanan di seluruh negeri.
Para pelanggan khas Koryo adalah petualang dan pelancong baik-baik. Banyak pelancong menikmati perjalanan mereka. Kadang Anda bisa saja melihat seorang pria aneh tampak menyeberangi jalan sambil mungkin mencurigai Anda. Bisa saja mereka itu mata-mata.
Tak bisa bertanya
Apakah akan lebih tertarik jika berada di sana? Sungguh tidak ada hal yang bisa diketahui dengan pasti. Anda tidak dapat meminta pertolongan dari seseorang dan mendapatkan jawaban pertanyaan. Negeri ini penuh misteri.
Salah satu alasan mengapa hanya ada sedikit mobil di Pyongyang tidak lain karena sulitnya mendapatkan bahan bakar. BBM impor sangat mahal.
Bersenang-senang, minum minuman keras, dan menari tidak dilarang, tetapi kebanyakan orang lebih suka menghabiskan waktu mereka di rumah dengan teman dan keluarga. Berkurangnya polusi tidak berarti ada komitmen kuat pemerintah untuk mengatur kualitas udara.
"Meski demikian, tidak berarti tidak ada kegiatan industri di sini, atau bukan sedang terjadi kesulitan ekonomi," kata Cockerell.
Dalam beberapa tahun terakhir, Cockerell melihat pedagang China menjual pakaian. "Pakaian dijual murah, modelnya sangat terbatas. Hanya sedikit orang yang menggunakan telepon seluler," katanya.
Menurut Cockerell, para wisatawan tidak boleh membawa telepon seluler saat masuk ke negeri itu, tetapi akan mendapatkannya kembali ketika meninggalkan negeri itu. Akan tetapi, iPad, komputer, dan perangkat digital seperti membaca, diperbolehkan. Kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Koryo dapat mendatangkan sekitar 1.500 turis asing ke Korut, termasuk kunjungan dua hari senilai sekitar 700 euro. Cukup banyak juga turis yang melakukan perjalanan selama 16 hari. Selama tur yang panjang ini, Koryo menggunakan pesawat carter swasta untuk terbang ke pantai barat atau daerah tujuan wisata lain walau bisa juga menggunakan kereta api.
Sebagian besar bangunan di Pyongyang dirancang berbentuk kotak dan datar. Kota ini dihiasi dengan monumen-monumen raksasa aneh. Gambar pemimpin Kim Jong Il bertebaran di banyak tempat. Tidak ada agama yang terorganisasi dengan baik di sini, dan hanya ada sedikit gereja di Pyongyang. "Saya yakin orang merasakan kehancuran yang luar biasa itu saat ini," kata Cockerell. (CAL)





Sumber : Kompas

Sabtu, 06 Juli 2013

Singapura, Kota Terkaya di Dunia


Cina mungkin akan segera menjadi tempat kelahiran separuh miliader dunia, tapi Singapura boleh bertepuk dada. Jiran Indonesia ini disebut-sebut sebagai kota terkaya di dunia ini. Singapura kini merupakan tempat utama para taipan dunia buat menghabiskan fulus mereka.


Sejumlah orang kaya dan terkenal di belahan bumi telah memindahkah kekayaannya ke negeri mini di Asia Tengggara itu. Sebut saja, misalnya, taipan perusahaan telekom India Bhupendra Kumar Modi, bintang superstar Cina Gong Li dan Jet Li, miliader Selandia Baru Richard Chadler, dan investor termasyhur Amerika Serikat Jim Rogers.

Satu dari enam rumah tangga di Singapura memiliki kekayaan bersih sekitar US$ 1 juta (Rp 9,7 miliar). Hal ini mencerminkan arus kegiatan ekonomi global mulai mengarah ke Asia.

Dengan pajak rendah, pemerintah bebas korupsi, serta penegakan hukum yang pasti, para miliader dunia berbondong-bondong menanamkan investasi, memilih properti, dan menetap di Singapura.

Namun demikian, sementara orang-orang kaya bersenang-senang di negeri ini, penduduk setempat berjuang keras guna menghadapi biaya hidup yang kian melambung di sini.

Kondisi demikian membuat warga Singapura yang berpenghasilan pas-pasan angkat bicara pada 14 Februari 2013 di depan gedung Parlemen. Mereka menuntut agar pemeringah membatasi gerak kaum imigran. Dalam "Kertas Putih" yang belum lama ini dibahas Parlemen disebutkan bahwa penduduk Singapura pada 2030 akan mencapai 6,9 juta--separuhnya adalah kaum imigran.

Data statistik menunjukkan 20 persen upah minimum di Singapura jatuh hingga 10 persen dalam sepuluh tahun terakhir ini. Sementara kaum mapan, penghasilannya terus menanjak mencapai 30 persen.

"Ini adalah episode aliran, kita harus berbicara," tulis Nicholas Fang, Direktur Eksekutif Singapore Institute of International Affairs dalam akun Twitter.

Melebarnya jurang antara kelompok bawah dan atas membuat teriakan jaring pengaman sosial untuk kaum miskin kian keras. Ini membuat pajak harus dinaikkan. Nah, selanjutnya, dapatkah Singapura mempertahankan menjadi negara kota terkaya di dunia dalam waktu lama atau segera berakhir.




Sumber : Tempo